Minggu, 02 April 2017

Elia dan Janda di Sarfat : Tindakan Iman




1 Raja-raja 17: 7-16

7Tetapi sesudah beberapa waktu, sungai itu menjadi kering, sebab hujan tiada turun di negeri itu.
8 Maka datanglah firman TUHAN kepada Elia:
9 "Bersiaplah, pergi ke Sarfat yang termasuk wilayah Sidon, dan diamlah di sana. Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan."
10 Sesudah itu ia bersiap, lalu pergi ke Sarfat. Setelah ia sampai ke pintu gerbang kota itu, tampaklah di sana seorang janda sedang mengumpulkan kayu api. Ia berseru kepada perempuan itu, katanya: "Cobalah ambil bagiku sedikit air dalam kendi, supaya aku minum."
11 Ketika perempuan itu pergi mengambilnya, ia berseru lagi: "Cobalah ambil juga bagiku sepotong roti."
12 Perempuan itu menjawab: "Demi TUHAN, Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikit pun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati."
13 Tetapi Elia berkata kepadanya: "Janganlah takut, pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu.
14 Sebab beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itu pun tidak akan berkurang sampai pada waktu TUHAN memberi hujan ke atas muka bumi."
15 Lalu pergilah perempuan itu dan berbuat seperti yang dikatakan Elia; maka perempuan itu dan dia serta anak perempuan itu mendapat makan beberapa waktu lamanya.
16 Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman TUHAN yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia.
     

 
      

Ketika terjadi kekeringan di Sungai Kerit, Allah memerintahkan Nabi Elia untuk pergi ke daerah Sarfat dimana Allah sudah menyiapkan seorang janda untuk memberinya makan. Sebagai abdi Allah, Nabi Elia pun melakukan perintah Allah tanpa melakukan perbantahan dengan Allah. Setelah sampai di sana, dia bertemu dengan seorang janda yang sedang mengumpulkan kayu api. Nabi Elia pun meminta perempuan janda itu untuk memberinya minum dan membuatkannya makanan walaupun sempat terjadi perbantahan dari perempuan janda yang mengatakan bahwa persediaan makanannya adalah yang terakhir setelah itu dia dan anaknya akan mati.

Pelajaran pertama bisa kita ambil dari Nabi Elia. Peristiwa itu bukanlah suatu peristiwa yang biasa-biasa saja. Ada pelajaran yang bisa kita tarik dari peristiwa ini. Secara manusiawi, bagaimanakah perasaan seorang laki-laki yang masih sehat dan seorang Nabi Allah yang dipakai secara luar biasa dengan kuasa Allah harus meminta makan kepada seorang perempuan, lebih-lebih perempuan itu adalah seorang janda? Allah memperhadapkan hal ini dengan Elia, hamba-Nya yang diurapi-Nya. Tindakan itu tidak mudah untuk dilakukan jikalau seseorang tidak mempunyai kerendahan hati untuk taat.

Apakah bukan hal yang memalukan, ketika seorang yang dipakai secara luar biasa oleh Allah meminta makan kepada seorang perempuan janda yang sebentar lagi akan mati bersama anaknya? Apakah Elia tidak tahu diri? Apakah Elia tidak peka kepada kesulitan orang lain? Bukannya membantu malah menyusahkan perempuan janda yang kekurangan itu. Mau taruh di mana muka Elia?

Melalui peristiwa ini, Allah ingin melihat sampai dimana Elia, hamba-Nya yang diurapi mau merendahkan diri dengan meminta makanan dari seorang perempuan janda. Allah ingin menunjukkan bahwa sehebat apapun seorang dipakai dan diurapi oleh-Nya, harus rela untuk merendahkan diri melakukan perintah-Nya. Sehebat apapun seseorang diurapi dan dipakai oleh Allah, harus rela untuk melepaskan diri dari atribut kegengsian, kesombongan, kemewahan, kesenangan. Apakah Elia tidak bisa berdoa kepada Allah untuk mengirimkannya makanan seperti sebelumnya dia diberi makan oleh burung gagak di tepi sungai Kerit?  Apakah Allah tidak mampu menyediakan makanan kepada Elia dengan cara yang lain? Allah bisa saja melakukan hal itu. Akan tetapi, Allah memerintahkan Elia untuk pergi kepada seorang janda di Sarfat untuk menguji sampai di mana Nabi Elia, hamba-Nya mau merendahkan diri untuk taat kepada perintah-Nya. Memang hidup itu adalah ujian. Pengalaman Ayub bersama Allah menceritakan  hal ini, dan dia menulis bahwa Allah menguji manusia setiap saat (Ayub 7:17-18). 

Seorang hamba Allah harus rela untuk melepaskan diri dari apa yang telah Allah kerjakan melalui dirinya. Kuasa maupun mujizat-mujizat yang terjadi adalah milik Allah. Nabi Elia, hamba-Nya, hanyalah alat atau sarana Allah bekerja. Yesus sendiri mengajarkan kepada murid-murid-Nya bahwa ketika mereka telah melakukan sesuatu, mereka hendaklah berkata : “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” (Lukas 17:10). Dalam terjemahan lain, kata “hamba-hamba yang tidak berguna” digunakan kata “we are slaves undeserving of special praise” (NET), yang bisa diterjemahkan “budak-budak yang tidak patut menerima pujian.” Sebagai hamba Allah atau kata kasarnya budak Allah, kita tidak patut menerima pujian dari apa yang Allah kerjakan melalui diri kita. Segala pujian, hormat, kuasa dan kemuliaan adalah milik Allah (Wahyu 5:13).   

Pelajaran kedua bisa kita ambil dari Janda Sarfat. Pada awalnya sempat terjadi perbantahan antara Nabi Elia dan Janda Sarfat soal roti yang harus dibuatkan dahulu untuk Nabi Elia. Janda Sarfat awalnya menolak untuk membuatkan roti bagi Elia karena itu merupakan persediaan makanan terakhir dari Janda Sarfat dan anaknya, setelah itu mereka akan mati. Akan tetapi, Janda Sarfat akhirnya mau membuatkan roti untuk Nabi Elia.

Janda Sarfat ini mengakui bahwa Allahnya Elia adalah Allah yang hidup (ayat 12). Firman Tuhan yang disampaikan oleh Nabi Elia, dia dengarkan (ayat 14). Dia pun melakukan seperti yang diperintahkan oleh Nabi Elia untuk membuatkan roti (ayat 13).

Walapun janda Sarfat ini mengalami kekurangan, dia tetap mau memberi kepada Nabi Elia, hamba Allah. Walaupun menghadapi resiko kematian, dia tetap mau berbagi dengan hamba Allah. Itulah tindakan iman yang dilakukan Janda Sarfat, yang mengakui bahwa Allahnya Elia adalah Allah yang hidup dan mau mendengarkan Firman Allah.

Iman Kristen menuntut untuk memberi walaupun dalam kekurangan. Yesus memberi contoh tentang seorang perempuan janda miskin yang memberi persembahan dari kekurangannya (Markus 12:41-44). Justru ketika seorang mau memberi dalam kekurangan, nilainya lebih tinggi pada pemandangan Allah (Markus 14:43).


Inilah tindakan iman yang dilakukan oleh Elia dan Janda Sarfat:

1.) Iman menuntut seseorang untuk tetap hidup dalam kerendahan hati di dalam ketaatan kepada perintah Allah. Itulah yang dilakukan oleh Nabi Elia, hamba Allah yang diurapi.
2.) Iman menuntut seseorang untuk rela memberi atau berkorban walaupun dalam kekurangan. Itulah tindakan iman yang dilakukan seorang Janda Sarfat.
Setiap ujian yang Allah ijinkan terjadi di dalam kehidupan kita, menuntut kita untuk memilih. Apakah kita mau melakukan tindakan iman, meskipun hal itu sepertinya merendahkan kita, merugikan kita?