Minggu, 20 Agustus 2017

Tubuh Manusia Sebagai Bait Allah




TUBUH MANUSIA SEBAGAI BAIT ALLAH




1 Korintus 3:16

Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?

Rasul Paulus menulis kepada jemaat di Korintus bahwa “kamu adalah bait Allah”. Bait Allah artinya rumah Allah atau kediaman Allah. Kata Bait berasal dari kata nahos dalam bahasa Yunani yang berarti rumah, kuil atau tempat kediaman sesuatu yang ilahi (dwelling place for a divine being). Merupakan suatu hal yang istimewa dan luar biasa bahwa tubuh manusia disebut sebagai bait Allah, tempat kediaman Allah. Bait Allah di sini tidak menunjuk kepada bangunan fisik, tetapi mengacu kepada pribadi manusia itu sendiri.

Apakah implikasinya, ketika tubuh manusia disebut sebagai bait Allah? Apakah yang harus kita perhatikan dan lakukan jikalau diri kita ini adalah bait Allah? Kita akan membahas hal ini dalam beberapa poin:


1.) Sebagai bait Allah, Allah menghargai dan mempedulikan tubuh manusia

Karena tubuh manusia adalah bait-Nya atau tempat kediaman-Nya, maka Allah sangat menghargai dan mempedulikan tubuh manusia. Dalam masa pelayanan Yesus, ada banyak hal yang Dia lakukan karena Dia menghargai dan mempedulikan tubuh manusia. Yesus menyembuhkan orang yang matanya buta. Yesus menyembuhkan orang yang kakinya lumpuh. Yesus mengusir setan yang menguasai tubuh manusia. Yesus menyembuhkan orang yang sebelah tangannya mati. Yesus memberi makan 5000 orang yang lapar. Yesus menyembuhkan ibu mertua Petrus yang sakit. Yesus menyembuhkan telinga perwira Romawi yang dipotong oleh murid-Nya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Allah menghargai dan memberi perhatian kepada tubuh manusia bahkan sampai kepada hal yang kecil.

Sebagaimana Allah menghargai dan mempedulikan tubuh manusia, kita juga  harus menghargai dan memberi perhatian kepada tubuh kita sendiri. Jangan sampai kita melakukan hal-hal yang dapat merugikan tubuh yang Allah anugerahkan kepada kita. Ada banyak hal yang dapat merugikan tubuh kita. Gaya hidup mabuk-mabukan, gaya hidup merokok, penggunaan narkoba, seks bebas, dan ada banyak hal lainnya yang bisa merugikan tubuh kita. Mungkin secara langsung belum terasa akibatnya, akan tetapi secara perlahan hal tersebut bisa membawa kerugian bagi tubuh manusia. Selain itu juga, ada orang yang sampai bisa membunuh dirinya sendiri hanya karena alasan tertekan, putus harapan karena penyakit yang diderita, gagal dalam hal asmara, persoalan keluarga dan lain-lain. Ketika seseorang membunuh dirinya sendiri, itu artinya dia membinasakan bait Allah. Begitu juga dengan membunuh orang lain sama artinya dengan membinasakan bait Allah. Rasul Paulus mengatakan bahwa barangsiapa membinasakan bait Allah, Allah akan membinasakan dia (I Korintus 3:17). Ketika seseorang melakukan hal-hal yang merugikan tubuhnya sendiri maupun tubuh orang lain, itu artinya dia tidak menghargai tubuhnya sebagai bait Allah, tempat kediaman Allah. 
 
Mengapa Allah sangat menghargai dan mempedulikan tubuh manusia? Karena tubuh manusia adalah bait-Nya, tempat kediaman-Nya. Tubuh manusia adalah tempat Roh Allah tinggal dan berdiam. Oleh karena itu, Allah mau tubuh ini dipakai untuk memuliakan Dia. Dengan tubuh ini, kita bisa memuliakan Allah. Dengan tubuh ini juga kita bisa menyakiti hati Allah. Allah ingin manusia menghargai dan memberi perhatian kepada tubuhnya karena tubuh ini adalah bait Allah. Allah juga mau agar tubuh ini dipakai untuk memuliakan Allah.


2.) Sebagaimana Allah adalah suci, bait Allah juga harus suci/kudus

Allah hanya mau tinggal di bait-Nya yang suci. Jikalau tubuh kita yang adalah bait Allah dalam keadaan najis, bagaimana Allah mau tinggal di dalamnya? Sebagaimana seorang pemilik rumah menginginkan rumah yang ditempatinya bersih, Allah juga mau agar bait-Nya, yaitu tubuh kita dalam keadaan suci, bersih dan tidak kotor.
Ada banyak hal yang dapat mengotori diri kita sebagai bait Allah. Kedengkian, kemunafikan, dendam, kepahitan, kesombongan, iri hati, perseteruan, keserakahan, fitnah, kedegilan, perzinahan, kegeraman dan masih banyak hal lainnya yang dapat mengotori diri kita sebagai bait Allah. Jangan sampai kita mengotori bait Allah yaitu diri kita dengan hal-hal yang tidak berkenan kepada Allah. Sebagai manusia baru di dalam Kristus, marilah kita menanggalkan perbuatan manusia lama itu dan melakukan apa yang berkenan di hadapan Allah.

Rasul Paulus berbicara tentang pembaharuan budi, perubahan diri. Dia mengatakan: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”(Roma 12:2). Kehidupan Kristen adalah suatu proses perubahan dan pembaharuan diri dari hari ke hari menjadi semakin serupa dengan Kristus. Allah mau diri kita semakin diperbaharui, semakin disucikan dari hari ke hari. Semakin seseorang mengijinkan Roh Kudus memimpin kehidupannya, semakin hidupnya juga disucikan oleh Allah. Allah mau bait-Nya, yaitu diri kita semakin disucikan dan dikuduskan.


3.) Allah harus berkuasa atau berotoritas di dalam Bait-Nya

Sebagaimana seorang tuan rumah berkuasa di dalam rumahnya sendiri, begitu juga Allah harus berkuasa dan bertahta di dalam bait-Nya, yaitu diri manusia. Allah harus bertahta dan berotoritas di dalam hati kita. Allah harus bertahta dan berotoritas di atas keinginan-keinginan kita. Allah harus bertahta dan berotoritas di atas pikiran-pikiran kita. Allah harus bertahta dan berotoritas di atas tindakan-tindakan kita. Allah harus bertahta dan berotoritas di atas ketakutan kita.

Tubuh manusia adalah medan pertempuran. Medan pertempuran antara kehendak Allah dan kehendak iblis/duniawi. Medan pertempuran antara kebenaran dan kejahatan. Allah memberikan manusia kebebasan untuk memilih. Memilih untuk melakukan kehendak Allah atau melakukan keinginan duniawi. Memilih untuk melakukan kebenaran atau kejahatan. Hal itu semuanya kembali lagi pada keputusan manusia. Sebagaimana diri manusia adalah bait Allah, Allah harus berkuasa dan berotoritas di dalam kehidupan kita. Kehidupan yang dikuasai oleh Allah adalah kehidupan yang menuju kepada kemerdekaan dan kebebasan. Sebaliknya, kehidupan yang dikuasai iblis dan keinginan duniawi adalah kehidupan yang diperbudak dan menuju kepada kebinasaan.    

Merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan ketika diri manusia disebut sebagai bait Allah, tempat Allah berdiam. Oleh sebab itu, kehidupan orang percaya harus mencerminkan bahwa dirinya adalah bait Allah, di mana Allah berdiam dan berkuasa di dalamnya. Janganlah lupa bahwa diri kita sangat berharga di "mata Allah". Tidak penting apa pandangan orang lain terhadap kita, karena bagi Allah diri kita adalah bait-Nya, tempat Dia berdiam.
                 

    

Minggu, 02 April 2017

Elia dan Janda di Sarfat : Tindakan Iman




1 Raja-raja 17: 7-16

7Tetapi sesudah beberapa waktu, sungai itu menjadi kering, sebab hujan tiada turun di negeri itu.
8 Maka datanglah firman TUHAN kepada Elia:
9 "Bersiaplah, pergi ke Sarfat yang termasuk wilayah Sidon, dan diamlah di sana. Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan."
10 Sesudah itu ia bersiap, lalu pergi ke Sarfat. Setelah ia sampai ke pintu gerbang kota itu, tampaklah di sana seorang janda sedang mengumpulkan kayu api. Ia berseru kepada perempuan itu, katanya: "Cobalah ambil bagiku sedikit air dalam kendi, supaya aku minum."
11 Ketika perempuan itu pergi mengambilnya, ia berseru lagi: "Cobalah ambil juga bagiku sepotong roti."
12 Perempuan itu menjawab: "Demi TUHAN, Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikit pun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati."
13 Tetapi Elia berkata kepadanya: "Janganlah takut, pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu.
14 Sebab beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itu pun tidak akan berkurang sampai pada waktu TUHAN memberi hujan ke atas muka bumi."
15 Lalu pergilah perempuan itu dan berbuat seperti yang dikatakan Elia; maka perempuan itu dan dia serta anak perempuan itu mendapat makan beberapa waktu lamanya.
16 Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman TUHAN yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia.
     

 
      

Ketika terjadi kekeringan di Sungai Kerit, Allah memerintahkan Nabi Elia untuk pergi ke daerah Sarfat dimana Allah sudah menyiapkan seorang janda untuk memberinya makan. Sebagai abdi Allah, Nabi Elia pun melakukan perintah Allah tanpa melakukan perbantahan dengan Allah. Setelah sampai di sana, dia bertemu dengan seorang janda yang sedang mengumpulkan kayu api. Nabi Elia pun meminta perempuan janda itu untuk memberinya minum dan membuatkannya makanan walaupun sempat terjadi perbantahan dari perempuan janda yang mengatakan bahwa persediaan makanannya adalah yang terakhir setelah itu dia dan anaknya akan mati.

Pelajaran pertama bisa kita ambil dari Nabi Elia. Peristiwa itu bukanlah suatu peristiwa yang biasa-biasa saja. Ada pelajaran yang bisa kita tarik dari peristiwa ini. Secara manusiawi, bagaimanakah perasaan seorang laki-laki yang masih sehat dan seorang Nabi Allah yang dipakai secara luar biasa dengan kuasa Allah harus meminta makan kepada seorang perempuan, lebih-lebih perempuan itu adalah seorang janda? Allah memperhadapkan hal ini dengan Elia, hamba-Nya yang diurapi-Nya. Tindakan itu tidak mudah untuk dilakukan jikalau seseorang tidak mempunyai kerendahan hati untuk taat.

Apakah bukan hal yang memalukan, ketika seorang yang dipakai secara luar biasa oleh Allah meminta makan kepada seorang perempuan janda yang sebentar lagi akan mati bersama anaknya? Apakah Elia tidak tahu diri? Apakah Elia tidak peka kepada kesulitan orang lain? Bukannya membantu malah menyusahkan perempuan janda yang kekurangan itu. Mau taruh di mana muka Elia?

Melalui peristiwa ini, Allah ingin melihat sampai dimana Elia, hamba-Nya yang diurapi mau merendahkan diri dengan meminta makanan dari seorang perempuan janda. Allah ingin menunjukkan bahwa sehebat apapun seorang dipakai dan diurapi oleh-Nya, harus rela untuk merendahkan diri melakukan perintah-Nya. Sehebat apapun seseorang diurapi dan dipakai oleh Allah, harus rela untuk melepaskan diri dari atribut kegengsian, kesombongan, kemewahan, kesenangan. Apakah Elia tidak bisa berdoa kepada Allah untuk mengirimkannya makanan seperti sebelumnya dia diberi makan oleh burung gagak di tepi sungai Kerit?  Apakah Allah tidak mampu menyediakan makanan kepada Elia dengan cara yang lain? Allah bisa saja melakukan hal itu. Akan tetapi, Allah memerintahkan Elia untuk pergi kepada seorang janda di Sarfat untuk menguji sampai di mana Nabi Elia, hamba-Nya mau merendahkan diri untuk taat kepada perintah-Nya. Memang hidup itu adalah ujian. Pengalaman Ayub bersama Allah menceritakan  hal ini, dan dia menulis bahwa Allah menguji manusia setiap saat (Ayub 7:17-18). 

Seorang hamba Allah harus rela untuk melepaskan diri dari apa yang telah Allah kerjakan melalui dirinya. Kuasa maupun mujizat-mujizat yang terjadi adalah milik Allah. Nabi Elia, hamba-Nya, hanyalah alat atau sarana Allah bekerja. Yesus sendiri mengajarkan kepada murid-murid-Nya bahwa ketika mereka telah melakukan sesuatu, mereka hendaklah berkata : “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” (Lukas 17:10). Dalam terjemahan lain, kata “hamba-hamba yang tidak berguna” digunakan kata “we are slaves undeserving of special praise” (NET), yang bisa diterjemahkan “budak-budak yang tidak patut menerima pujian.” Sebagai hamba Allah atau kata kasarnya budak Allah, kita tidak patut menerima pujian dari apa yang Allah kerjakan melalui diri kita. Segala pujian, hormat, kuasa dan kemuliaan adalah milik Allah (Wahyu 5:13).   

Pelajaran kedua bisa kita ambil dari Janda Sarfat. Pada awalnya sempat terjadi perbantahan antara Nabi Elia dan Janda Sarfat soal roti yang harus dibuatkan dahulu untuk Nabi Elia. Janda Sarfat awalnya menolak untuk membuatkan roti bagi Elia karena itu merupakan persediaan makanan terakhir dari Janda Sarfat dan anaknya, setelah itu mereka akan mati. Akan tetapi, Janda Sarfat akhirnya mau membuatkan roti untuk Nabi Elia.

Janda Sarfat ini mengakui bahwa Allahnya Elia adalah Allah yang hidup (ayat 12). Firman Tuhan yang disampaikan oleh Nabi Elia, dia dengarkan (ayat 14). Dia pun melakukan seperti yang diperintahkan oleh Nabi Elia untuk membuatkan roti (ayat 13).

Walapun janda Sarfat ini mengalami kekurangan, dia tetap mau memberi kepada Nabi Elia, hamba Allah. Walaupun menghadapi resiko kematian, dia tetap mau berbagi dengan hamba Allah. Itulah tindakan iman yang dilakukan Janda Sarfat, yang mengakui bahwa Allahnya Elia adalah Allah yang hidup dan mau mendengarkan Firman Allah.

Iman Kristen menuntut untuk memberi walaupun dalam kekurangan. Yesus memberi contoh tentang seorang perempuan janda miskin yang memberi persembahan dari kekurangannya (Markus 12:41-44). Justru ketika seorang mau memberi dalam kekurangan, nilainya lebih tinggi pada pemandangan Allah (Markus 14:43).


Inilah tindakan iman yang dilakukan oleh Elia dan Janda Sarfat:

1.) Iman menuntut seseorang untuk tetap hidup dalam kerendahan hati di dalam ketaatan kepada perintah Allah. Itulah yang dilakukan oleh Nabi Elia, hamba Allah yang diurapi.
2.) Iman menuntut seseorang untuk rela memberi atau berkorban walaupun dalam kekurangan. Itulah tindakan iman yang dilakukan seorang Janda Sarfat.
Setiap ujian yang Allah ijinkan terjadi di dalam kehidupan kita, menuntut kita untuk memilih. Apakah kita mau melakukan tindakan iman, meskipun hal itu sepertinya merendahkan kita, merugikan kita?